Saturday, September 8, 2007

Tukang Sampan dan Sarjana

KISAH ceritera ini dikutip dari buku Intisari Bhagawadgita. Ceritera ini diawali dengan kisah seorang sarjana yang terkenal akan kemampuan intelektualnya. Sebagaimana kebiasaan kaum cendekiawan pada umumnya, memberikan ceramah, menghadiri diskusi/seminar, kutu buku, demikian pula sarjana ini. Pada suatu hari sarjana ini diundang untuk menghadiri suatu pertemuan penting. Untuk menuju ke tempat undangan ia harus menyeberangi sebuah sungai yang luas dan arus airnya cukup deras. Didekatilah tukang sampan, mohon bantuan diseberangkan menuju tempat tujuan. Sarjana ini satu-satunya penumpang dalam sampan, hari itu angin dan arus sungai datang dari arah yang berlawanan sehingga perjalanan sangat lambat. Sarjana ini punya kebiasaan suka bicara kepada siapa saja yang dekat.

Sambil menikmati pemandangan alam di sekitar sungai, sarjana ini mulai berbicara dengan tukang sampan. "Bapak bisa baca dan menulis? Tukang sampan menjawab "tidak, saya tidak bisa membaca dan menulis." Wah Bapak ini orang aneh, kata sarjana itu. Dewasa ini pemerintah telah mendirikan sekolah di setiap desa, mestinya Bapak sedikit-sedikit bisa membaca dan menulis. Sarjana ini terus bertanya: "Bapak membawa Koran? Tukang sampan menjawab, saya tidak punya pendidikan sama sekali, apa gunanya saya membawa koran. Sarjana berkata, tidak apa-apa. Orang biasa membawa koran meskipun tidak punya pendidikan.

Beberapa menit kemudian sarjana itu bertanya lagi, "Bapak punya jam, tolong saya beritahu jam berapa sekarang? Bila saya tidak berpendidikan dan tidak tahu jam, apa gunanya saya punya jam. Sarjana berkata lagi, segala pertanyaan saya, bapak tidak bisa menjawabnya, coba pikir berapa banyak hidup bapak terbuang-buang. Jika Bapak tidak berpendidikan, tidak punya koran, tidak punya radio, tidak punya jam tangan, maka tiga perempat hidup bapak sudah masuk dalam air.

Sementara itu angin kencang bertiup dan tiada berapa lama timbul angin ribut. Sampan mulai oleng, air sungai berlahan-lahan mulai masuk ke sampan. Tukang sampan tidak mampu lagi menguasai sampannya. Ia bertanya kepada sarjana itu. Bapak, apakah Bapak bisa berenang? Sarjana menjawab, "tidak, saya tidak pernah belajar berenang. Ketika ia akan jatuh dari sampan, tukang perahu berkata kepada sang sarjana, "Oh Bapak, sungguh sayang! alangkah sia-sianya. Jika Bapak tidak bisa berenang maka sekarang seluruh hidup Bapak akan masuk ke dalam air.

Menyimak ceritera di atas, mengandung makna bahwa bila kita bepergian melalui sungai yang lebar dan deras, pengetahuan yang paling penting adalah bisa berenang, itu yang nomor satu. Bisa berenang lebih penting daripada pengetahuan yang lain-lainnya. Kalau tidak bisa berenang segala pengetahuan lainnya: filsafat, fisika, kimia, dan sebagainya tidak ada gunanya.

Dalam perjalanan hidup manusia akan melewati sungai yang deras, penuh dengan gelombang kehidupan dan tidak dapat diramalkan dan kita harus tahu bagaimana caranya agar tetap di atas air dan bisa berenang. Untuk menyeberang dengan selamat kita harus mempunyai pengetahuan tentang atma (jiwa) dan kita harus mengembangkan kemampuan agar mengetahui apa yang berguna dan apa yang tidak berguna untuk menyeberangi sungai kehidupan duniawi. Bila kita tidak mengembangkan kemampuan dalam bidang ini maka tidak akan ada jalan bagi kita untuk sukses dalam hidup ini. Selama menjadikan kekayaan material (lahiriah) sebagai landasan dan tujuan hidup, manusia tidak akan pernah mendapatkan/menikmati kebahagiaan sejati.

Menurut Swami Siwananda, tujuan pembacaan mitologi keagamaan adalah untuk mengendapkan penonjolan rasio yang berlebihan dalam menghayati kesucian agama. Letak penghayatan agama di atas kekuatan rasio. Meraih kesucian Tuhan tidak dapat dengan ketajaman rasio semata-mata. Bahkan kalau rasio mendominir dalam proses penghayatan itu, akan mengantarkan seeorang kepada keragu-raguan dalam meyakini kesucian Tuhan.

Kemampuan dan ketajaman rasio (intelektual) bagi manusia adalah sangat penting dalam memenuhi kebutuhan duniawi, dan juga dapat dipakai unsur pembantu pada proses keagamaan agar tidak kehilangan arah atau pegangan yang benar. Oleh karena itu kaum cendekiawan yang memiliki kemampuan dan ketajaman rasio, juga dituntut memiliki ilmu pengetahuan sejati tentang jiwa (spirit), agar tidak tenggelam dalam mengaruhi lautan kehidupan.

Friday, September 7, 2007

Kumpulan Cerita Hindu

KELEDAI YANG BERNYANYI

Di sebuah kota tinggalah seekor keledai bernama Uddhata. Keledai ini adalah milik seorang tukang cuci. Pada siang hari Uddhata bekerja membawa muatan milik si tukang cuci, sedang pada malam hari dia bebas bermain melewati ladang-ladang. Setiap malam ia selalu kembali tepat waktu karena khawatir apabila ia terlambat, maka tukang cuci akan mengikatnya pada malam berikutnya.

Pada suatu malam, ketika Uddhata bermain di ladang, dia bertemu dengan seekor serigala dan bersahabat dengannya. Semakin hari Uddhata menjadi semakin gemuk dan kuat. Dan suatu hari Uddhata dan si serigala berhasil menerobos masuk ke ladang ketimun. Di tengah ladang, Uddhata memakan ketimun dengan rakusnya sedangkan temannya si serigala memakan itik dan ayam di sekitar ladang. Mereka melakukan itu setiap malam dan kembali ke kandang mereka pada pagi hari.

Pada suatu malam yang istimewa, Uddhata berdiri di tengah-tengah ladang ketimun. Dia lalu berkata kepada si serigala: "Teman, lihatlah! Bulan purnama begitu indahnya. Aku ingin bernyayi, beritahu aku, lagu apakah yang mesti kunyanyikan?". Lalu si serigala menjawab: "Teman, kita datang kesini untuk mencuri bukan menyanyi. Selain itu nyanyianmu bisa membangunkan petani ladang. Mereka akan bangun dan menangkap kita".

Mendengar jawaban si serigala, Uddhata tetap pada pendiriannya. Ia mengatakan kepada si serigala bahwa ia lebih tahu cara-cara bernyanyi dibanding si serigala. Si serigala akhirnya menyerah dan berkata: " Baiklah teman, apabila kau bersikeras ingin manyanyi, aku akan tinggal keluar pagar dan mengawasi petani".

Segera setelah si serigala pergi, Uddhata menyanyi dengan keras dan riang. Nyanyian itu ternyata membangunkan para petani ladang yang sedang tertidur. Petani itu lalu mengejar Uddhata ke ladang dengan membawa tongkat. Uddhata lalu tertangkap dan kemudian dipukul oleh petani. Setelah habis dipukuli, petani itu mengikatkan lumpang di leher Uddhat dan kemudian kembali melanjutkan tidur mereka.

Uddhata lalu dengan susah payah bangun dan berjalan keluar pagar. Di sana ia bertemu dengan si serigala dan berkata: "Teman, aku semestinya tidak menutup telinga terhadap nasehatmu. Kalung indah ini adalah hadiah akibat kesalahanku". Uddhata lalu berjalan lemah menuju kandang dengan kalung lumpang di lehernya.

-Orang yang tidak memiliki akal sehat, tidak pula mendengar saran teman- temannya pasti akan kesulitan-



SWABHAVARIPANA DAN MIMPINYA

Di sebuah kota, tinggalah seorang brahmin bernama Swabhavaripana. Dia biasa menghidupi dirinya hanya dengan meminta-minta. Setiap ia menerima beras ia akan memakannya sedikit dan menyimpan sisanya di sebuah belanga. Belanga tersebut digantungkan pada sebuah pasak di kaki tempat tidurnya. Ia memandang belanga tersebut sampai dia tertidur.

Pada suatu malam, ketika dia menatap belanga kesayangannya, dia berkata dalam hatinya: "Belanga ini sekarang sudah benar-benar penuh dengan beras. Seandainya masa krisis datang aku akan sanggup mendapat uang sedikit lebih banyak. Kemudian aku sanggup membeli dua ekor kambing yang akan melahirkan anak setiap enam bulan, sehingga suatu waktu aku akan mendapat anak kambing yang banyak".

Lalu dia berpikir hal yang lain, dan berkata: "Apabila kambing-kambing tersebut sudah cukup besar, aku akan menjualnya dan membeli sejumlah sapi. Dengan menjual sapi aku akan membeli kuda-kuda. Kuda-kuda itu nanti akan kujual untuk kubelikan emas. Dengan emas aku akan membeli rumah berlantai empat. Kemudian seorang brahmin akan datang dan menawariku anak gadisnya. Aku akan mengawini anak gadis itu dan dia akan memberikanku satu orang anak. Aku akan menamakannya Soma Sharma. Aku akan membawa buku ke kandang kuda dan membacanya. Soma Sharma akan merangkak dari pangkuan ibunya. Aku akan berteriak kepada ibunya agar dia segera mengambil anak itu kembali". "Aku akan menjadi marah dan berjalan menuju arah ibunya dengan pandangan mata yang menyala".

Begitulah Swabhavaripana terbuai mimpi-mimpinya. Dalam buaiannya tanpa sadar ia menendang keras tiang penyangga belanga. Belanga itu kemudian jatuh dan hancur berkeping-keping. Tepung terigu tersebut jatuh tumpah dan menutupi dirinya dengan warna putih. Swabhavaripana hanya bisa tertunduk setelah tahu mimpi-mimpinya menghancurkan harapannya.

-Orang yang dikuasai dengan kelobaan/kerakusan serta tidak memikirkan akibatnya akan mendapat kesulitan-



KODOK DAN DUA IKAN

Di sebuah kolam yang indah, hiduplah dua ekor ikan bernama Shatabuddhi dan Sahasrabuddhi. Mereka bersahabat dengan seekor kodok bernama Ekabuddhi. Ketiga hewan itu biasanya melewatkan waktu bersama di tepi kolam membicarakan filsafat.

Pada suatu malam, ketika mereka sibuk berbicara satu sama lain, beberapa nelayan melintas dengan membawa keranjang dan jala. Mereka lalu bercakap satu sama lain: "Di kolam ini kelihatannya banyak ikan. Mari kita datang lagi besok pagi dan melemparkan jaring kita".

Mendengar hal tersebut, Ekabuddhi berkata: "Apakah kalian mendengar apa yang mereka katakan? Apa yang harus kita lakukan untuk menyelamatkan diri? Kita harus segera pergi dari kolam ini!".

Sahasrabuddhi lalu menjawab: "Sahabatku, janganlah cemas, itu cuma percakapan biasa. Selain itu aku punya seribu keahlian untuk menyelamatkan kalian". Shatabuddhi lalu menambahkan: "Aku juga mempunyai seratus keahlian, aku bisa menyelamatkan diri dan membantu kalian juga". "Kita semestinya tidak meninggalkan tempat kelahiran kita, karena obrolan kosong".

Ekabuddhi lalu menyadari bahwa kedua temannya bersikeras untuk tinggal karena mereka banyak mempunyai keahlian. Ia lalu memutuskan untuk pergi dari kolam itu bersama istrinya malam itu juga. Meskipun ia memiliki satu keahlian tetapi ia tidak mau tinggal dan mati sia-sia.

Keesokan harinya datanglah beberapa nelayan ke kolam dan membentangkan jaring mereka. Jaring itu sedemikian besarnya sehingga semua jenis mahluk hidup di kolam tersebut terjerat olehnya. Shatabuddhi dan Sahasrabuddhi berusaha sekuat tenaga berlari menyelamatkan diri dengan keahlian mereka. Tapi itu semua sia-sia, mereka semua telah terjerat dan akhirnya mati.

Nelayan-nelayan itu lalu pulang dengan membawa ikan tangkapannya. Karena berat, Sahasrabudhi dibawa di atas kepala, sedang Shatabuddhi digantung di tangan. Mereka melewati kolam tempat Ekabuddhi menyelamatkan diri. Ekabuddhi hanya bisa bersedih melihat semua temannya telah terjerat dan mati.

Ekabuddhi lalu berkata pada istrinya: "Sayangku, lihatlah, Sahasrabuddhi dan Shatabuddhi yang memiliki banyak keahlian telah mati. Sedang aku yang memiliki satu keahlian tetap hidup bahagia di air ini".

-Tiada hal yang tak mungkin bagi orang yang memiliki kecerdasan / keahlian. Tetapi orang-orang pintar tidak akan berdaya apabila mereka sombong dan tidak mendengar nasihat teman. Takdir akan memusuhi mereka karenanya-



AKIBAT MENGHIDUPKAN SINGA

Di sebuh kota tinggalah empat putra dari para brahmin. Mereka bersahabat satu sama lain. Tiga orang brahmin tersebut sangat ahli dalam ayat-ayat dan sastra-sastra tetapi tidak memiliki akal sehat. Sedangkan brahmin ke empat tidak ahli dalam sastra-sastra tetapi memiliki akal sehat.

Pada suatu hari keempat sahabat tersebut berdiskusi. Mereka berkata: "Apa arti gelar kesarjanaan kita apabila kita tidak bisa mempengaruhi raja-raja di timur atau mendapatkan uang. Maka, marilah kita melakukan perjalanan ke timur". Mereka lalu berangkat ke negeri timur yang jauh. Di tengah perjalanan, yang paling tua berkata: "Seorang di antara kita hanya memiliki pikiran sehat dan tidak memiliki gelar kesarjanaan. Nah, tak seorangpun yang mampu mendapat perhatian dari raja dengan kemampuan seperti itu".

Brahmin yang kedua berpaling ke arah brahmin ke empat, lalu berkata: "Temanku, engkau bukan sarjana, lebih baik engkau pulang saja". Tetapi brahmin yang ke tiga berkata: "Kita tidak boleh bertingkah laku seperti itu, kita sebaiknya membiarkan dia ikut. Kita telah hidup dan besar bersama-sama sejak masih anak-anak". Akhirnya kedua brahmin yang lain setuju dengan pendapat itu dan mereka lalu melanjutkan perjalanan.

Setelah beberapa waktu, mereka lalu sampai di hutan dan menemukan tulang-tulang seekor singa berserakan di sana. Kemudian brahmin yang pertama berkata: "Marilah kita uji kemampuan kita, mari kita lihat apakah kita sanggup menghidupkannya". Ketiga brahmin yang pintar setuju dengan ide itu tetapi tidak dengan brahmin ke empat.

Ketiga brahmin tersebut lalu mulai bekerja. Satu orang mengumpulkan tulang, satu orang yang lain mengisi darah dan kulit sedang yang lain mengerahkan segala kesaktiannya untuk menghidupkan si singa. Brahmin ke empat berkata: "Demi kebaikan, janganlah kalian lakukan itu. Jika singa itu hidup maka ia akan memakan kita. Hentikanlah!".

Brahmin yang ke tiga lalu berkata: "Engkau jangan meremehkan kemampuanku, aku telah meraihnya dengan susah payah". Brahmin yang ke empat menjawab: "Baiklah, jika kalian bersikeras, namun tunggu sebentar saja, aku akan memanjat pohon terlebih dahulu".

Brahmin yang ketiga lalu dengan bangga mulai menghidupkan si singa dengan susah payah. Singa itu kemudian hidup kembali, matanya terlihat menyala-nyala seperti sedang kelaparan. Singa itu lalu menerkam ketiga brahmin tersebut dengan secepat kilat. Brahmin ke empat menyaksikan hal tersebut dari atas pohon. Ia menunggu sampai singa itu pergi kemudian turun dari pohon dan kembali pulang.

-Orang-orang yang ahli dalam sastra-sastra (/gelar kesarjanaan) tetapi kekurangan akal sehat akan memperoleh kesulitan-



ISTRI SEORANG BRAHMIN DAN LUAK

Di sebuah kota tinggalah seorang brahmin bernama Dev Sharma. Pada suatu hari istrinya melahirkan seorang putra. Pada hari yang sama seekor luak* betina melahirkan anak juga tetapi malang, luak betina itu mati setelah melahirkan.

Karena rasa kasihan, istri sang brahmin memungut anak luak tersebut dan membesarkannya seperti anaknya sendiri. Ia memberikan makanan, memandikannya, meminyakinya dengan penuh kasih sayang. Ia sempat berpikir: "Luak ini sudah merupakan sifatnya merusak jenisnya. Jangan-jangan pada suatu hari nanti ia membahayakan anakku". Tetapi kemudian ia sadar bahwa ia adalah seorang ibu yang terikat dengan anak asuhnya.

Pada suatu hari, perempuan itu menidurkan anaknya dan kemudian mengambil periuk untuk mencari air. Dia lalu berkata pada suaminya: "Aku akan pergi ke mata air. Jagalah anak kita, jangan sampai si luak menyakitinya". Setelah itu sang istri lalu pergi.

Setelah sang istri pergi, sang brahmin juga meninggalkan rumah dan pergi untuk mencari sedekah. Tak lama kemudian, seekor ular hitam muncul dari lubang di dalam rumah dan menuju ke arah anak sang brahmin. Si luak terbangun melihat itu, langsung menyerang si ular untuk mempertahankan yang bagaikan saudara sendiri baginya. Si luak menggigit ular dengan ganas sampai ular itu mengeluarkan darah dan mati.

Si luak lalu berdiri di luar rumah dengan badan, mulut dan cakar yang berlumuran darah. Sang istri brahmin yang baru saja datang dari mata air sangat terkejut melihat si luak, ia mengira anak kandungnya telah dimangsa oleh si luak. Ia lalu menjatuhkan periuk yang penuh dengan air kepada si luak, hal itu langsung membuat si luak mati.

Ketika sang istri masuk ke dalam rumah, ia melihat anaknya masih hidup dan seekor ular hitam, dalam keadaan remuk dan terkoyak, terlentang tak jauh dari sana. Melihat itu semua, hatinya menjadi hancur. Dia merasa, seolah-olah dia telah bersalah membunuh anaknya sendiri dan mulai memukul-mukul dadanya sendiri.

-Anak meskipun tidak berguna, congkak dan buruk rupa, orang tuanya haruslah menyayanginya-